Senin, Juli 07, 2008

Kepahlawanan 10 Nopember 1945

MILITANSI PERJUANGAN “AREK-AREK” SURABAYA
MELAWAN SEKUTU (INGGRIS)
(Simbol Eksistensi Semangat Nasionalisme)
Oleh: Maman Nurjaya, S.Pd

Kawanku semua,
Tengoklah di medan laga,
Darah kawanmu mengali membasahi,
Bumi persada ibu pertiwi

Gunungsari, gunungsari
Tampak kenangan suci
Kita siap, kita sedia,
Membalas nenuntut bela,

(Syair lagu yang populer untuk memperingati peristiwa pertempuran di Gunungsari Surabaya dimana banyak pasukan Pelajar gugur, Nugroho Nototsusanto, 1985)

Jum’at 10 November 2006 genap 61 tahun terjadinya peristiwa heroik pertempuran “Arek-arek” Surabaya melawan Sekutu (Inggris). Peristiwa 10 November 1945 tidak saja sekedar usaha bangsa Indonesia khususnya rakyat Surabaya mempertahankan kemerdekaan yang baru saja tercapai tetapi pertempuran ini memperlihatkan sebuah contoh perjuangan yang dilandasi etos kejuangan yang tinggi, militansi dan heroisme yang menunjukkan eksistensi nasionalisme yang tidak saja perlu dikenang tetapi juga perlu direfleksikan kembali. Refleksi didasarkan pada kesadaran bahwa bangsa yang tidak mengenal sejarahnya berarti tidak mempunyai identitas. Apdahal menurut Empu Sejarah Sartono Kartodirjo, bangsa tanpa identitas adalah contradictio interminis (Antonius Darmanto, 1992). Dalam rangka mengenang dan merefleksikan peristiwa 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai hari Pahlawan itulah tulisan ini dibuat.

Kedatangan Sekutu
Ikhwal kedatangan Sekutu di Indonesia adalah dalam rangka mengemban tugas “mengurus” Indonesia setelah Jepang kalah dengan Sekutu dalam Perang Dunia II. Tugas Pokoknya antara lain melucuit Senjata Jepang, mengurus tawanan Jepang dan juga mengurus administrasi penyerahan kekuasaan dari Jepang ke Sekutu. Dalam perkembangannya tidak dapat dihindakrkan terjadi pergolakan dan pertempuran dengan Pihak Indonesia karena pihak Indonesia yang sudah menyatakan diri merdeka juga mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri termasuk melucuti senjata Jepang. Hal ini juga diperkeruh dengan pihak Belanda yang masih ingin kembali ke Indonesia dengan menggunakan nama Sekutu maka konfrontasi fisik tidak dapat dihindarkan, termasuk pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade ke49 di bawah pimpinan Brigader Jenderal A.W.S Mallaby mendarat di Surabaya. Brigade ini merupakan bagian Divisi ke 23 di bawah pimpinan Jenderan D.C. Hawthorn. Mereka mendapat tugas dari Panglima AFNEI (Panglima Tentara Sekutu Untuk Asia Tenggara) untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan para interniran Sekutu. Pemimpin pasukan Sekutu (Inggris) menemui Gubernur Jawa Timur R.M. Soerjo (pemegang pemerintahan Indonesia di Jawa Timur). Pemerintahan Jawa Timur pada awalnya enggan untuk menerima kedatangan mereka namun akhirnya terjadilah pertemuan dengan Brigader AWS Mallaby dan berhasil mencapai kesepakatan antara lain: pertama Inggris berjanji bahwa diantara mereka tidak terdapat angkatan perang Belanda, kedua disetujuinya kerjasama kedua pihak untuk menjamin keamanan dan ketentraman, ketiga akan dibentuk kontak biro sehingga kerjasama dapat terlaksana dengan baik, dan keempat Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang saja. Akhirnya pihak Indonesia memperkenankan tentara Inggris memasuki kota dengan syarat bahwa hanya obyek-obyek yang sesuai tugasnya saja yang dapat diduduki seperti kamp-kamp tawanan perang.

Pertempuran dimulai
Dalam perkembangannya Inggris ingkar janji. Tanggal 26 Oktober 1945 malam, satu peleton pasukan Field Security Section di bawah Kapten Shaw melakukan penyerangan ke penjara Kalisosok untuk membebaskan Kolonel Huiyer (Seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda). Tindakan Inggris dilanjutkan dengan melakukan pendudukan terhadap Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio dan obyek fital lainnya. Tindakan Inggris semakin nekat dengan menyebarkan pamflet-pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya khususnya Jawa Timur pada umumnya untuk menyerahkan senjata yang dirampasnya dari Jepang. Akhirnya pertempuran tidak dapat dihindarkan setelah protes Pemerintah Surabaya tidak dihiraukan oleh Inggris. Kontak senjata pecah pertama kali tanggal 27 sampai 30 Oktober 1945. rakyat Surabaya berhasil mengasai kembali daerah-daerah yang diduduki Inggris. Situasi dapat mereda setelah Presiden Sukarno turun tangan mendamaikan kedua pihak. Namun malang bagi Jenderal AWS Mallaby, dia tewas dalam sebuah pertempuran di sekitar Gedung Internatio/ Jembatan Merah.

Abaikan Ultimatum Sekutu
Tewasnya Jenderal Inggris ini membuat Letjen Chistison sebagai Panglima Tentara Sekutu untuk kawasan Asia Tenggara geram. Didatangkannya bala bantuan antara lain Kapal Perang HMS. Sussex di bawah pimpinan Laksamana Muda Petterson, 1.500 pasukan di daratkan dari kapal Carron dan Cavalier dan menyusul 24.000 pasukan dari Divisi V Infanteri India yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Mansergh (Nugroho Notosusanto, 1985).
Tanggal 9 November 1945 Inggris mengeluarkan ultimatum “.... semua pimpinan bangsa Indonesia dari semua pihak di kota Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 pagi, pada tempat yang telah ditentukan dan membawa bendara Merah Putih dengan diletakkan di atas tanah pada jarak seratus meter dari tempat berdiri, lalu mengangkat tangan tanda menyerah. Jika tidak ditaati maka pihak Inggris akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut dan udara” (I Wayan Badrika, 2005).
Ultimatum itu tidak membuat rakyat Surabaya takut namun justru disambut dengan persiapan perang baik di bidang logistik, personil tentara, sukarelawan maupun strategi perang. Gubernur Suryo menyatakan menolak ultimatum Inggris. Pertempuran tidak terhindarkan lagi keesokan harinya tanggal 10 November 1945. sementara itu tokoh yang tak asing lagi dalam pertempuran ini adalah Bung Tomo yang selalu membakar semangat juang rakyat melalui radio. Dalam perkembangannya pihak Indonesia mulai terdesak. Hal ini memang dari segi persenjataan kalah modern di banding Sekutu. Fron terahanan terakhir Pertempuran Surabaya adalah di daerah Gunungsari dimana banyak sekali pasukan Pelajar yang gugur menjadi bunga bangsa. Dengan jatuhnya Gunungsari pada tanggal 28 November 1945 praktis seluruh kota Surabaya telah jatuh ke tangan musuh (Nugroho Notosusanto, 1985).

Eksistensi Nasionalisme
Pertempuran Surabaya berakhir tanggal 28 November 1945, dua hari lebih lama dari yang diperkirakan Inggris yaitu tanggal 26 November 1945. Hal ini disebabkan perlawanan dari rakyat Surabaya benar-benar diluar dugaan. Mereka bertempur habis-habisan, heroik dan militan. Pada awalnya Inggris menganggap pasukan Indonesia sebagai suatu tentara yang tidak lebih dari tentara gerilya kelas tiga, “no higher than a third grade partisan Army”, tetapi setelah bertempur lebih dari seminggu pihak Inggir mengakui bahwa belum terlihat adanya tanda-tanda melemahnya perlawanan dan bahkan pasukan Inggris mengahdapi perlawanan yang lebih teratur. (Nugroho Notosusanto, 1985).
Militansi rakyat Surabaya dalam melawan Inggris benar-benar mencerminkan semangat nasionalisme. Semangat cinta tanah air rela mengorbankan apa saja yang dimilikinya termasuk nyawa demi menjaga hak dan kehormatan bangsa ditunjukkan dan pertempuran Surabaya ini. Tepatlah apa yang dikatakan Hans Kohn bahwa nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan (Hans Kohn, 1964:11). Hal ini semakin relevan apa yang dikatakan Ernest Renan bahwa nasionalisme dipahami sebagai keinginan bersama sekelompok orang untuk bersatu serta mempertahankan persatuan itu dengan jalan apapun (Soekarno, 1963:3-4)

Implikasinya
Dalam rangka membangun kesadaran sejarah perjuangan rakyat Surabaya jangan hanya dipandang dari sisi menang atau kalah, namun meresapi akan nilai-nilai kejuangan, militansi dan heroisme yang merupakan semangat nasionalisme itulah yang harus selalu tertanam pada setiap generasi ke generasi. Lebih jauh lagi pada masa kini nilai-nilai nasionalisme sebagai mana termaktub dalam Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia sepeti Unity (Kesatuan), liberty (kebebasan), personality (kepribadian), performance (prestasi kerja) dikonsolidasikan dalam parameter pembangunan (Sartono Kartodirjo, 1992/ Antonius Darmanto, 1995). Bagi para pelajar mengaplikasikan nilai-nilai nasionalisme dapat dilakukan dengan tetap semangat dan konsisten dalam menjalankan kewajibannya yaitu belajar, serta menjauhkan diri dari hal-hal yang negatif. Hal ini karena pelajar sebagai generasi muda memikul beban berat yaitu meneruskan tongkat estafet perjalanan bangsa ini.
*(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Exsis Edisi Januari 2007)

Kamis, Juli 03, 2008

Foto dengan teman bermain

Foto ini diambil tahun 1980-an di sebuah patung Syiwa Candi Prambanan. Teman-teman bermain waktu kecil.

DEMOKRASI LIBERAL DAN TERPIMPIN

1. MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950 – 1959)
Pelaksanaan demokrasi liberal pada hakekatnya secara yurudis formal adalah wajar sebab sesuai dengan konstutusi yang berlaku saat itu yakni UUDS 1950 yang bernafaskan semangat liberal. Kondisi seperti itu bahkan sudah dirintis sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 tentang perubahan status KNIP dan Maklumat tanggal 3 Nopember 1945 tentang pembentukan partai-partai politik di Indonesia. Walaupun demokrasi parlementer atau liberal yang meniru sistem parlementer model Eropa Barat kurang sesuai dengan kondisi politik dan karakter rakyat Indonesia namun Indonesia pernah menerapkan sistem demokrasi liberal dalam pemerintahannya.

a. Percobaan sistem politik demokrasi liberal
Dalam kurun waktu tahun 1950-1959 merupakan masa berkiprahnya partai-partai politik pada pemerintahan RI. Pada masa ini sering terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat (PNI dan masyumi) pada masa itu silih berganti memimpin kabinet. Pendeknya usia kabinet menyebabkan programnya tidak bisa berjalan dan ini akan menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan keamanan. Kabinet-kabinet yang pernah berkuasa antara lain :
1) Kabinet Natsir
2) Kabinet Sukiman
3) Kabinet Wilopo
4) Kabinet Ali Sastroamidjojo I
5) Kabinet Burhanudin Harahap
6) Kabinet Alisastroamidjojo II
7) Kabinet Karya

b. Sistem ekonomi liberal
Pertumbuhan ekonomi dari struktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional berjalan lamban sebagai akibat pergolakan di daerah. Faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tersendat-sendat:
1) Situasi keamanan dalam negeri yang tidak stabil.
Pergolakan di daerah (separatis) menyebabkan perhatian ke sektor pembangunan ekonomi berkurang.
2) Instabilitas Politik.
Sering Resufle Kabinet yang menyebabkan program-program pembangunan tidak berjalan.
3) Mengandalkan satu jenis ekspor (hasil pertanian & perkebunan)
4) Belum adanya tenaga ahli dan dana dalam penataan ekonomi.

Upaya penataan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959:
1) Peraturan Gunting Syafrudin (Menteri Keuangan) 20 Maret 1950.
Pengharusan pemotongan semua uang kertas yang bernilai Rp2,50 ke atas menjadi dua, sehingga nilainya tinggal setengah. Dari hal terkumpul pinjaman wajib dari rakyat Rp1,6 M dan mengurangi jumlah uang yang beredar.
2) Dalam bidang ekspor, pengubahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS.
Untuk kepentingan ekspor Rp3,80 menjadi Rp7,60. Untuk impor, Rp11,40 untuk setiap dollarnya.
3) Untuk menggalakkan perdagangan, Tahun 1950-1953 pemberian kredit kepada pengusaha Indonesia. Usaha itu gagal disebabkan persaingan dengan pengusaha non pribumi. Sehingga pada Kabinet Ali I kebijakan diganti yang dikenal dengan Sistem Ali Baba, yakni kerjasama antara pengusaha pribumi (Ali) dengan pengusaha nonpribumi (Baba). Hal ini pun gagal karena pengusaha non pribumi lebih berpengalaman sehingga pengusaha pribumi hanya diperalat untuk mempermudah dalam mendapatkan kredit.
4) Dalam mengatasi ekonomi yang memburuk, Kabinet Ali II membentuk Badan Perencanaan Pembangunan. Karena situasi politik tidak menentu program ini juga belum berhasil.

UJI KOMPETENSI :
1. Diskripsikan latar belakang pelaksanaan sistem poltik Demokrasi Liberal di Indonesia
2. Jelaskan sebab-sebab jatuh bangunnya kabinet pada masa Demokrasi Liberal
3. Jelaskan kondisi ekonomi Indonesia masa Demokrasi Liberal


2. DEMOKRASI TERPIMPIN

a. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Sejak Pemilu 15 Desember 1955 yang salah satu hasilnya memilih Anggota DPRD dan Konstituante. Badan ini belum berhasil merumuskan UUD sebagai pengganti UUDS 50. Karena pergolakan politik dan keamanan. Oleh karena itu tanggal 21 Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan Konsepsi Presiden :
1) Sistem demokrasi liberal-parlementer perlu diganti dengan demokrasi terpimpin
2) Perlu dibentuk kabinet gotong-royong yang merupakan kabinet kaki empat, yakni: PNI,
Masyumi, NU, dan PKI.
3) Perlu dibentuk Dewan Nasional yang anggotanya terdiri dari golongan fungsional dalam
masyarakat.

Pada tanggal 3 Juni 1959 Konstituante Reses (masa istirahat) yang kemudian ternyata untuk selama-lamanya. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan KSAD Letjend AH Nasution atas nama Pemerintah/ penguasa perang pusat (PEPERPU ) mengeluarkan peraturan No. PRT/PEPERPU/040/1959 yang isinya melarang kegiatan-kegiatan politik.
Tanggal 16 Juni 1959 Ketua umum PNI Sowirjo mengirimkan surat kepada Presiden agar mendekritkan kembali berlakunya UUD 45 dan membubarkan Konstituante. Karena gagalnya Konsituante bertugas dan peristiwa politik, keamanan yang mengguncang bangsa dan persatuan bangsa mencapai puncaknya pada bulan Juli 1959 maka demi keselamatan negara berdasarkan staatsnoodrecht (hukum keadaan bahaya bagi negara) Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang tepatnya Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00 WIB :
1) Pembubaran Konstituante
2) Tidak berlakunya UUDS 50 dan berlakunya UUD 45
3) Pembentukan MPRS dan DPAS

b. Sistem Politik Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin ditafsirkan dari Sila ke empat Pancasila yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Kata Dipimpin kemudian ditafsirkan bahwa demokrasi dipimpin oleh Presiden. Selanjutnya dengan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 dibentuklah MPRS yang anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden. Anggota MPRS terdiri anggota DPR ditambah Utusan Daerah dan Wakil Golongan Karya yang diketuai oleh Chaerul Shaleh. Dengan tugasnya menetapkan GBHN. Salah satu ketetapan MPRI adalah mengangkat Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi (PBR).
DPA dibentuk berdasarkan Penpres No. 3 Tahun 1959. DPA dipimpin langsung Presiden dan Wakil Ketua adalah Roeslan Abdulgani. Kewajiban Dewan ini adalah menjawab pertanyaan Presiden dan mengajukan usul kepada Pemerintah. Pelantikan DPA dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 1959 bersamaan dengan Pelantikan Muh. Yamin sebagai Dewan Perancang Nasional (DEPERNAS), dan Sultan HB IX sebagai Ketua Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara.

Pada mulanya DPR hasil Pemilu 1955 mengikuti saja kebijakan Presiden Soekarno namun kemudian mereka menolak APBN 1960 yang diajukan Pemerintah. Akibat penolakan tersebut dikeluarkan Penpres No. 3 Tahun 1960 yang menyatakan Pembubaran DPR hasil Pemilu 1955. Pada tanggal 24 Juni 1960 Presiden Soekarno telah berhasil menyusun Anggota DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) yang penyusunan anggota di Tampak Siring Bali yang diwakili dari PNI, NU, PKI sedangkan Kolonel Wiluyo Puspo Yudo mewakili TNI AD. Pelantikannya dilakukan tanggal 25 Juni 1960.

Dalam Pidato Presiden saat pelantikan DPR GR disebutkan bahwa tugas DPR GR adalah melaksanakan manipol (manifestasi politik), merealisasi amanat penderitaan rakyat, dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin.
Dalam Pelantikan Wakil-wakil Ketua DPR GR tanggal 5 Januari 1961 Presiden Soekarno menjelaskan lagi bahwa kedudukan DPRGR adalah Pembantu Presiden Mandataris MPRS dan memberikan sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan MPRS.

Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno menyampaikan Pidato “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, Pidato tersebut merupakan penjelasan dan pertanggung jawaban atas Dekrit Presiden 5 Juli 1959 serta garis kebijakan Presiden Soekarno pada umumnya dalam merencanakan Sistem Demokrasi Terpimpin.

Dalam sidang bulan September 1959 DPA mengusulkan kepada Pemerintah agar Pidato Presiden itu dijadikan GBHN dan diberi nama “Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol RI). Pengesahan sebagai GBHN melalui penetapan Presiden No. 1 Tahun 1960 selanjutnya melalui ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menetapkan bahwa Manifesto Politik itu menjadi GBHN. Dalam ketetapan itu disebutkan pula bahwa Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960 dengan judul “Jalan Revolusi Kita” dan Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 dimuka sidang umum PBB yang berjudul “To Build The Word a New (Membangun Dunia Kembali)” merupakan pedoman pelaksanaan Manifesto Politik.

Reaksi-reaksi
Perkembangan politik saat itu menimbulkan reaksi-reaksi politik antaralain dari NU dan PNI.
Beberapa tokoh NU mengecam pembubaran DPR hasil Pemilu 55 dan mengancam akan menarik pencalonan anggota-anggotanya di DPR GR, akan tetapi setelah jumlah kursi ditambah untuk NU sikap mereka menjadi lunak namun Rois Aam Kyai H. Wahab Hazbullah menyatakan bahwa NU tidak bisa duduk dengan PKI dalam kabinet. Dan Nu menolak kabinet Nasakom. Dari kalangan PNI muncul dari Mr. Sartono, Ketua DPR hasil Pemilu 1955 dan Mr. Ishaq Tjokro Adi Suryo. Reaksi juga datang dari Prawoto Mangku Sasmito (Masyumi) dan Soetomo (Parindra) melalui surat yang ditujukan kepada MA tanggal 22 Juni 1960 yang isinya pembentukan kabinet oleh Ir. Soekarno merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945. Para tokoh yang menentang pembentukan DPRGR tergabung dalam Liga Demokrasi yang diketuai oleh Imron Rosyadi dari NU.

Selanjutnya melalui Penpres No. 13 Tahun 1959 Presiden Soekarno membentuk Front Nasional yaitu suatu organisasi masa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi yang terkandung dalam UUD 1945. Pembentukan ini melalui keputusan Presiden No. 94 Tahun 1962 yang diketuai oleh Presiden Soekarno.

Pada tahun 1964 TNI dan Polisi dipersatukan menjadi ABRI yang tujuannya adalah mengembalikan peran sosial politik seperti zaman perang kemerdekaan. ABRI diakui sebagai salah satu golongan fungsional (karya) yang mempunyai wakil di MPRS. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini Presiden Soekarno melakukan politik perimbangan kekuatan (balance of power) dengan semboyan “Politik adalah Panglima” dan Presiden mengambil alih secara langsung Pimpinan Tertinggi ABRI dengan membentuk Komando Operasi Tertinggi (KOTI).


c. Peranan NASAKOM dan PKI
Perkembangan politik dalam Demokrasi Terpimpin terpusat pada Presiden Soekarno, dengan TNI AD dan PKI sebagai pendukung utamanya. PKI mendominasi Demokrasi Terpimpin dengan landasan Manipol. PKI menyatakan bahwa Revolusi belum selesai, dengan dalih itulah PKI mengajak rakyat untuk menyelesaikan tahapan-tahapan Revolusi yakni dari tahap Nasional Demokratis dan tahap sosialistis.
Ajaran Presiden Soekarno tentang Nasakom sangat menguntungkan PKI karena menempatkannya sebagai bagian yang sah dalam konstelasi politik Indonesia, bahkan Presiden Soekarno menganggap aliansi dengan PKI sangat menguntungkan sehingga PKI ditempatkan pada barisan terdepan dalam Demokrasi Terpimpin yang berlandaskan Manipol.

Pada puncaknya PKI mendesak salah satu satelit mereka yakni Barisan Tani Indonesia untuk melakukan aksi-aksi sepihak terutama menyangkut masalah Land Leform, sehingga terjadi peristiwa bandar betsi di Sumatra Utara yang mengakibatkan Pilda Sujono dianiaya sampai mati oleh PKI dan peristiwa jengkol. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk memantapkan pembinaan keamanan teritorial oleh TNI AD, sedangkan tujuan politiknya adalah menguasai desa untuk mengepung kota seperti yang diajarkan Mautsetung.

Reaksi-reaksi terhadap Nasakom dan PKI
Sebagai reaksi teror yang dilakukan oleh PKI dikalangan budayawan munculah Manifestasi Kebudayaan (Manikebud) sedangkan dari kalangan wartawan dan penerbit surat kabar munculah kelompok Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). PKI juga menyusup ke dalam PNI sehingga PNI pecah menjadi dua separuh yang terbesar di bawah Ali Sastroamidjojo yang disusupi oleh PKI (Ir. Surahman). Sedangkan PKI yang berpaham Marhaines Sejati dipimpin oleh Osa Maliki dan Usep Ranuwijaya yang dikenal dengan PNI OSA-USEP, sedangkan PNI Ali Sastro Amidjojo – Surahman dikenal dengan nama PNI ASU.

Salah satu kekuatan yang masih menjadi penghalang PKI adalah ABRI oleh karena itu PKI berusaha untuk mengusai ABRI dengan cara menyusupkan kader-kadernya dan membina simpatisan serta menjelekkan/ memfitnah pimpinan ABRI.


d. Politik Luar Negri

Dari Non Blok ke Nefo-Oldefo
Pada awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin Indonesia cukup berperan aktif dalam hal-hal kegiatan Internasional. Antara lain:
1) Pengiriman Pasukan Garuda II ke Kongo yang tergabung dalam UNOC (United Nation
Operation Congo)
2) Tanggal 30 September 1960 Presiden Soekarno berpidato dalam SU PBB yang berjudul
“To Build The Word a New” yang menguraikan tentang Pancasila, Irian Barat,
Kolonialisme, Peredaan Perang Dingin dan Perbaikan Organisasi PBB.
3) Memprakarsai gerakan Non Blok.
4) Sebagai tuan rumah ASIAN GAMES IV di Jakarta (24 Agustus – 4 September 1962).

Hubungan dengan negara-negara barat semakin renggang karena mereka dianggap pasif dalam pembebasan Irian Barat. Sebaliknya hubungan ke Timur semakin erat karena Soviet dan Cina bersedia memberi bantuan dalam hal perlengkapan militer. Selanjutnya Indonesia mengkondisikan adanya 2 kubu kekuatan dunia yaitu:
1) Oldefo (Old Establishid Forces) yaitu Kubu Negara Kapitalis Imperialis.
2) Nefo (New Emerging Forces) yaitu Kubu Negara Tertindas yang progresif Revolusioner menentang imperialisme dan Neokolonialisme.
Mulai saat itu Indonesia bersikap konfrontatif terhadap Negara-negara Barat. Diantara sikap konfrontatif itu adalah Konfrontasi terhadap Malaysia yang dianggap sebagai Proyek Nekolin (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Presiden Soekarno menentang keras pembentukan federasi Malaysia dengan menggabungkan negara-negara bekas jajahan Inggris di Asia Tenggara yaitu Persatuan Tanah Melayu, Singapura, Sabah dan Serawak.
Dalam rangka menggayang Malaysia tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta Presiden Soekarno mengumumkan Dwikora (Dwi Komando Rakyat) yaitu :
1) Perhebat ketahanan Revolusi Indonesia
2) Bantu Perjuangan Revolusioner Rakyat Malaysia, Singapura, Sabah dan Serawak, serta Brunei untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia.

Seiring dengan pelaksanakan politik Nefo Oldefo ini pada masa Demokrasi Terpimpin juga dijalankan Politik Mercu Suar yang berpendapat bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia.
Realisasinya adalah pembangunan proyek-proyek besar dan spektakuler yang banyak menelan biaya miliaran rupiah misalnya diselenggarakannya Ganefo (Games of The New Emerging Forces) untuk itu dilaksanakan pembangunan komplek olahraga senayan.
Puncaknya Indonesia keluar dari keanggotaan PBB tanggal 7 Januari 1965.

e. Sistem Ekonomi Terpimpin
Untuk melaksanakan pembangunan di bawah Kabinet Karya dikeluarkan Undang-undang Nomor 80 Tahun 1958 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1958 tentang Pembentukan Dewan Perancang Nasional di bawah Pimpinan Muh. Yamin yang beranggotakan 80 orang.
Pada tahun 1963 Dewan Perancang Nasional diganti dengan Badan Perancang Pembangunan Nasional (BAPENAS) yang dipimpin Presiden Soekarno dengan tugas menyusun Rencana Jangka Panjang dan Tahunan baik Nasional maupun Daerah, mengawasi, dan menilai pelaksanaan pembangunan.
Pada masa ini inflasi sangat tinggi barang-barang umumnya naik 40%. Untuk mengatasi masalah ini dikeluarkan Deklarasi Ekonomi dengan tujuan untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
Salah satu implementasi dari Deklarasi Ekonomi adalah penurunan nilai uang (defaluasi) tanggal 25 Agustus 1959.
Dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Ekonomi Terpimpin Presiden Soekarno mempersatukan semua Bank Negara ke dalam Bank Sentral, untuk itu dikeluarkan Penpres No. 7 Tahun 1965 tentang pendirian Bank Tunggal milik negara. Tugas Bank tersebut sebagai Bank Sirkulasi, Bank Sentral, dan Bank Umum. Contoh Bank-bank yang dilebur adalah Bank Koperasi dan Bank Nelayan (BKTN), Bank Negara, Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia.
Selanjutnya dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan tugas dan pekerjaannya masing-masing.

UJI KOMPETENSI :
1. Jelaskan sebab-sebab munculnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 !
2. Jelaskan sebab-sebab Presiden Sukarno memberlakukan Sistem Demokrasi Terpimpin !
3. Jelaskan ciri-ciri Sistem Politik Luar Negeri pada masa Demokrasi Terpimpin !
4. Jelaskan konsep Ekonomi Terpimpin pada masa Demokrasi Terpimpin !