Kamis, Juli 03, 2008

DEMOKRASI LIBERAL DAN TERPIMPIN

1. MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950 – 1959)
Pelaksanaan demokrasi liberal pada hakekatnya secara yurudis formal adalah wajar sebab sesuai dengan konstutusi yang berlaku saat itu yakni UUDS 1950 yang bernafaskan semangat liberal. Kondisi seperti itu bahkan sudah dirintis sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 tentang perubahan status KNIP dan Maklumat tanggal 3 Nopember 1945 tentang pembentukan partai-partai politik di Indonesia. Walaupun demokrasi parlementer atau liberal yang meniru sistem parlementer model Eropa Barat kurang sesuai dengan kondisi politik dan karakter rakyat Indonesia namun Indonesia pernah menerapkan sistem demokrasi liberal dalam pemerintahannya.

a. Percobaan sistem politik demokrasi liberal
Dalam kurun waktu tahun 1950-1959 merupakan masa berkiprahnya partai-partai politik pada pemerintahan RI. Pada masa ini sering terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat (PNI dan masyumi) pada masa itu silih berganti memimpin kabinet. Pendeknya usia kabinet menyebabkan programnya tidak bisa berjalan dan ini akan menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan keamanan. Kabinet-kabinet yang pernah berkuasa antara lain :
1) Kabinet Natsir
2) Kabinet Sukiman
3) Kabinet Wilopo
4) Kabinet Ali Sastroamidjojo I
5) Kabinet Burhanudin Harahap
6) Kabinet Alisastroamidjojo II
7) Kabinet Karya

b. Sistem ekonomi liberal
Pertumbuhan ekonomi dari struktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional berjalan lamban sebagai akibat pergolakan di daerah. Faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tersendat-sendat:
1) Situasi keamanan dalam negeri yang tidak stabil.
Pergolakan di daerah (separatis) menyebabkan perhatian ke sektor pembangunan ekonomi berkurang.
2) Instabilitas Politik.
Sering Resufle Kabinet yang menyebabkan program-program pembangunan tidak berjalan.
3) Mengandalkan satu jenis ekspor (hasil pertanian & perkebunan)
4) Belum adanya tenaga ahli dan dana dalam penataan ekonomi.

Upaya penataan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959:
1) Peraturan Gunting Syafrudin (Menteri Keuangan) 20 Maret 1950.
Pengharusan pemotongan semua uang kertas yang bernilai Rp2,50 ke atas menjadi dua, sehingga nilainya tinggal setengah. Dari hal terkumpul pinjaman wajib dari rakyat Rp1,6 M dan mengurangi jumlah uang yang beredar.
2) Dalam bidang ekspor, pengubahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS.
Untuk kepentingan ekspor Rp3,80 menjadi Rp7,60. Untuk impor, Rp11,40 untuk setiap dollarnya.
3) Untuk menggalakkan perdagangan, Tahun 1950-1953 pemberian kredit kepada pengusaha Indonesia. Usaha itu gagal disebabkan persaingan dengan pengusaha non pribumi. Sehingga pada Kabinet Ali I kebijakan diganti yang dikenal dengan Sistem Ali Baba, yakni kerjasama antara pengusaha pribumi (Ali) dengan pengusaha nonpribumi (Baba). Hal ini pun gagal karena pengusaha non pribumi lebih berpengalaman sehingga pengusaha pribumi hanya diperalat untuk mempermudah dalam mendapatkan kredit.
4) Dalam mengatasi ekonomi yang memburuk, Kabinet Ali II membentuk Badan Perencanaan Pembangunan. Karena situasi politik tidak menentu program ini juga belum berhasil.

UJI KOMPETENSI :
1. Diskripsikan latar belakang pelaksanaan sistem poltik Demokrasi Liberal di Indonesia
2. Jelaskan sebab-sebab jatuh bangunnya kabinet pada masa Demokrasi Liberal
3. Jelaskan kondisi ekonomi Indonesia masa Demokrasi Liberal


2. DEMOKRASI TERPIMPIN

a. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Sejak Pemilu 15 Desember 1955 yang salah satu hasilnya memilih Anggota DPRD dan Konstituante. Badan ini belum berhasil merumuskan UUD sebagai pengganti UUDS 50. Karena pergolakan politik dan keamanan. Oleh karena itu tanggal 21 Februari 1957 Presiden Soekarno mengajukan Konsepsi Presiden :
1) Sistem demokrasi liberal-parlementer perlu diganti dengan demokrasi terpimpin
2) Perlu dibentuk kabinet gotong-royong yang merupakan kabinet kaki empat, yakni: PNI,
Masyumi, NU, dan PKI.
3) Perlu dibentuk Dewan Nasional yang anggotanya terdiri dari golongan fungsional dalam
masyarakat.

Pada tanggal 3 Juni 1959 Konstituante Reses (masa istirahat) yang kemudian ternyata untuk selama-lamanya. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan KSAD Letjend AH Nasution atas nama Pemerintah/ penguasa perang pusat (PEPERPU ) mengeluarkan peraturan No. PRT/PEPERPU/040/1959 yang isinya melarang kegiatan-kegiatan politik.
Tanggal 16 Juni 1959 Ketua umum PNI Sowirjo mengirimkan surat kepada Presiden agar mendekritkan kembali berlakunya UUD 45 dan membubarkan Konstituante. Karena gagalnya Konsituante bertugas dan peristiwa politik, keamanan yang mengguncang bangsa dan persatuan bangsa mencapai puncaknya pada bulan Juli 1959 maka demi keselamatan negara berdasarkan staatsnoodrecht (hukum keadaan bahaya bagi negara) Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang tepatnya Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00 WIB :
1) Pembubaran Konstituante
2) Tidak berlakunya UUDS 50 dan berlakunya UUD 45
3) Pembentukan MPRS dan DPAS

b. Sistem Politik Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin ditafsirkan dari Sila ke empat Pancasila yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Kata Dipimpin kemudian ditafsirkan bahwa demokrasi dipimpin oleh Presiden. Selanjutnya dengan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 dibentuklah MPRS yang anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden. Anggota MPRS terdiri anggota DPR ditambah Utusan Daerah dan Wakil Golongan Karya yang diketuai oleh Chaerul Shaleh. Dengan tugasnya menetapkan GBHN. Salah satu ketetapan MPRI adalah mengangkat Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi (PBR).
DPA dibentuk berdasarkan Penpres No. 3 Tahun 1959. DPA dipimpin langsung Presiden dan Wakil Ketua adalah Roeslan Abdulgani. Kewajiban Dewan ini adalah menjawab pertanyaan Presiden dan mengajukan usul kepada Pemerintah. Pelantikan DPA dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 1959 bersamaan dengan Pelantikan Muh. Yamin sebagai Dewan Perancang Nasional (DEPERNAS), dan Sultan HB IX sebagai Ketua Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara.

Pada mulanya DPR hasil Pemilu 1955 mengikuti saja kebijakan Presiden Soekarno namun kemudian mereka menolak APBN 1960 yang diajukan Pemerintah. Akibat penolakan tersebut dikeluarkan Penpres No. 3 Tahun 1960 yang menyatakan Pembubaran DPR hasil Pemilu 1955. Pada tanggal 24 Juni 1960 Presiden Soekarno telah berhasil menyusun Anggota DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) yang penyusunan anggota di Tampak Siring Bali yang diwakili dari PNI, NU, PKI sedangkan Kolonel Wiluyo Puspo Yudo mewakili TNI AD. Pelantikannya dilakukan tanggal 25 Juni 1960.

Dalam Pidato Presiden saat pelantikan DPR GR disebutkan bahwa tugas DPR GR adalah melaksanakan manipol (manifestasi politik), merealisasi amanat penderitaan rakyat, dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin.
Dalam Pelantikan Wakil-wakil Ketua DPR GR tanggal 5 Januari 1961 Presiden Soekarno menjelaskan lagi bahwa kedudukan DPRGR adalah Pembantu Presiden Mandataris MPRS dan memberikan sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan MPRS.

Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno menyampaikan Pidato “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, Pidato tersebut merupakan penjelasan dan pertanggung jawaban atas Dekrit Presiden 5 Juli 1959 serta garis kebijakan Presiden Soekarno pada umumnya dalam merencanakan Sistem Demokrasi Terpimpin.

Dalam sidang bulan September 1959 DPA mengusulkan kepada Pemerintah agar Pidato Presiden itu dijadikan GBHN dan diberi nama “Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol RI). Pengesahan sebagai GBHN melalui penetapan Presiden No. 1 Tahun 1960 selanjutnya melalui ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menetapkan bahwa Manifesto Politik itu menjadi GBHN. Dalam ketetapan itu disebutkan pula bahwa Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960 dengan judul “Jalan Revolusi Kita” dan Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 dimuka sidang umum PBB yang berjudul “To Build The Word a New (Membangun Dunia Kembali)” merupakan pedoman pelaksanaan Manifesto Politik.

Reaksi-reaksi
Perkembangan politik saat itu menimbulkan reaksi-reaksi politik antaralain dari NU dan PNI.
Beberapa tokoh NU mengecam pembubaran DPR hasil Pemilu 55 dan mengancam akan menarik pencalonan anggota-anggotanya di DPR GR, akan tetapi setelah jumlah kursi ditambah untuk NU sikap mereka menjadi lunak namun Rois Aam Kyai H. Wahab Hazbullah menyatakan bahwa NU tidak bisa duduk dengan PKI dalam kabinet. Dan Nu menolak kabinet Nasakom. Dari kalangan PNI muncul dari Mr. Sartono, Ketua DPR hasil Pemilu 1955 dan Mr. Ishaq Tjokro Adi Suryo. Reaksi juga datang dari Prawoto Mangku Sasmito (Masyumi) dan Soetomo (Parindra) melalui surat yang ditujukan kepada MA tanggal 22 Juni 1960 yang isinya pembentukan kabinet oleh Ir. Soekarno merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945. Para tokoh yang menentang pembentukan DPRGR tergabung dalam Liga Demokrasi yang diketuai oleh Imron Rosyadi dari NU.

Selanjutnya melalui Penpres No. 13 Tahun 1959 Presiden Soekarno membentuk Front Nasional yaitu suatu organisasi masa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi yang terkandung dalam UUD 1945. Pembentukan ini melalui keputusan Presiden No. 94 Tahun 1962 yang diketuai oleh Presiden Soekarno.

Pada tahun 1964 TNI dan Polisi dipersatukan menjadi ABRI yang tujuannya adalah mengembalikan peran sosial politik seperti zaman perang kemerdekaan. ABRI diakui sebagai salah satu golongan fungsional (karya) yang mempunyai wakil di MPRS. Pada masa Demokrasi Terpimpin ini Presiden Soekarno melakukan politik perimbangan kekuatan (balance of power) dengan semboyan “Politik adalah Panglima” dan Presiden mengambil alih secara langsung Pimpinan Tertinggi ABRI dengan membentuk Komando Operasi Tertinggi (KOTI).


c. Peranan NASAKOM dan PKI
Perkembangan politik dalam Demokrasi Terpimpin terpusat pada Presiden Soekarno, dengan TNI AD dan PKI sebagai pendukung utamanya. PKI mendominasi Demokrasi Terpimpin dengan landasan Manipol. PKI menyatakan bahwa Revolusi belum selesai, dengan dalih itulah PKI mengajak rakyat untuk menyelesaikan tahapan-tahapan Revolusi yakni dari tahap Nasional Demokratis dan tahap sosialistis.
Ajaran Presiden Soekarno tentang Nasakom sangat menguntungkan PKI karena menempatkannya sebagai bagian yang sah dalam konstelasi politik Indonesia, bahkan Presiden Soekarno menganggap aliansi dengan PKI sangat menguntungkan sehingga PKI ditempatkan pada barisan terdepan dalam Demokrasi Terpimpin yang berlandaskan Manipol.

Pada puncaknya PKI mendesak salah satu satelit mereka yakni Barisan Tani Indonesia untuk melakukan aksi-aksi sepihak terutama menyangkut masalah Land Leform, sehingga terjadi peristiwa bandar betsi di Sumatra Utara yang mengakibatkan Pilda Sujono dianiaya sampai mati oleh PKI dan peristiwa jengkol. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk memantapkan pembinaan keamanan teritorial oleh TNI AD, sedangkan tujuan politiknya adalah menguasai desa untuk mengepung kota seperti yang diajarkan Mautsetung.

Reaksi-reaksi terhadap Nasakom dan PKI
Sebagai reaksi teror yang dilakukan oleh PKI dikalangan budayawan munculah Manifestasi Kebudayaan (Manikebud) sedangkan dari kalangan wartawan dan penerbit surat kabar munculah kelompok Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). PKI juga menyusup ke dalam PNI sehingga PNI pecah menjadi dua separuh yang terbesar di bawah Ali Sastroamidjojo yang disusupi oleh PKI (Ir. Surahman). Sedangkan PKI yang berpaham Marhaines Sejati dipimpin oleh Osa Maliki dan Usep Ranuwijaya yang dikenal dengan PNI OSA-USEP, sedangkan PNI Ali Sastro Amidjojo – Surahman dikenal dengan nama PNI ASU.

Salah satu kekuatan yang masih menjadi penghalang PKI adalah ABRI oleh karena itu PKI berusaha untuk mengusai ABRI dengan cara menyusupkan kader-kadernya dan membina simpatisan serta menjelekkan/ memfitnah pimpinan ABRI.


d. Politik Luar Negri

Dari Non Blok ke Nefo-Oldefo
Pada awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin Indonesia cukup berperan aktif dalam hal-hal kegiatan Internasional. Antara lain:
1) Pengiriman Pasukan Garuda II ke Kongo yang tergabung dalam UNOC (United Nation
Operation Congo)
2) Tanggal 30 September 1960 Presiden Soekarno berpidato dalam SU PBB yang berjudul
“To Build The Word a New” yang menguraikan tentang Pancasila, Irian Barat,
Kolonialisme, Peredaan Perang Dingin dan Perbaikan Organisasi PBB.
3) Memprakarsai gerakan Non Blok.
4) Sebagai tuan rumah ASIAN GAMES IV di Jakarta (24 Agustus – 4 September 1962).

Hubungan dengan negara-negara barat semakin renggang karena mereka dianggap pasif dalam pembebasan Irian Barat. Sebaliknya hubungan ke Timur semakin erat karena Soviet dan Cina bersedia memberi bantuan dalam hal perlengkapan militer. Selanjutnya Indonesia mengkondisikan adanya 2 kubu kekuatan dunia yaitu:
1) Oldefo (Old Establishid Forces) yaitu Kubu Negara Kapitalis Imperialis.
2) Nefo (New Emerging Forces) yaitu Kubu Negara Tertindas yang progresif Revolusioner menentang imperialisme dan Neokolonialisme.
Mulai saat itu Indonesia bersikap konfrontatif terhadap Negara-negara Barat. Diantara sikap konfrontatif itu adalah Konfrontasi terhadap Malaysia yang dianggap sebagai Proyek Nekolin (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Presiden Soekarno menentang keras pembentukan federasi Malaysia dengan menggabungkan negara-negara bekas jajahan Inggris di Asia Tenggara yaitu Persatuan Tanah Melayu, Singapura, Sabah dan Serawak.
Dalam rangka menggayang Malaysia tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta Presiden Soekarno mengumumkan Dwikora (Dwi Komando Rakyat) yaitu :
1) Perhebat ketahanan Revolusi Indonesia
2) Bantu Perjuangan Revolusioner Rakyat Malaysia, Singapura, Sabah dan Serawak, serta Brunei untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia.

Seiring dengan pelaksanakan politik Nefo Oldefo ini pada masa Demokrasi Terpimpin juga dijalankan Politik Mercu Suar yang berpendapat bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia.
Realisasinya adalah pembangunan proyek-proyek besar dan spektakuler yang banyak menelan biaya miliaran rupiah misalnya diselenggarakannya Ganefo (Games of The New Emerging Forces) untuk itu dilaksanakan pembangunan komplek olahraga senayan.
Puncaknya Indonesia keluar dari keanggotaan PBB tanggal 7 Januari 1965.

e. Sistem Ekonomi Terpimpin
Untuk melaksanakan pembangunan di bawah Kabinet Karya dikeluarkan Undang-undang Nomor 80 Tahun 1958 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1958 tentang Pembentukan Dewan Perancang Nasional di bawah Pimpinan Muh. Yamin yang beranggotakan 80 orang.
Pada tahun 1963 Dewan Perancang Nasional diganti dengan Badan Perancang Pembangunan Nasional (BAPENAS) yang dipimpin Presiden Soekarno dengan tugas menyusun Rencana Jangka Panjang dan Tahunan baik Nasional maupun Daerah, mengawasi, dan menilai pelaksanaan pembangunan.
Pada masa ini inflasi sangat tinggi barang-barang umumnya naik 40%. Untuk mengatasi masalah ini dikeluarkan Deklarasi Ekonomi dengan tujuan untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
Salah satu implementasi dari Deklarasi Ekonomi adalah penurunan nilai uang (defaluasi) tanggal 25 Agustus 1959.
Dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Ekonomi Terpimpin Presiden Soekarno mempersatukan semua Bank Negara ke dalam Bank Sentral, untuk itu dikeluarkan Penpres No. 7 Tahun 1965 tentang pendirian Bank Tunggal milik negara. Tugas Bank tersebut sebagai Bank Sirkulasi, Bank Sentral, dan Bank Umum. Contoh Bank-bank yang dilebur adalah Bank Koperasi dan Bank Nelayan (BKTN), Bank Negara, Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia.
Selanjutnya dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan tugas dan pekerjaannya masing-masing.

UJI KOMPETENSI :
1. Jelaskan sebab-sebab munculnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 !
2. Jelaskan sebab-sebab Presiden Sukarno memberlakukan Sistem Demokrasi Terpimpin !
3. Jelaskan ciri-ciri Sistem Politik Luar Negeri pada masa Demokrasi Terpimpin !
4. Jelaskan konsep Ekonomi Terpimpin pada masa Demokrasi Terpimpin !

Tidak ada komentar: