Senin, Juli 07, 2008

Kepahlawanan 10 Nopember 1945

MILITANSI PERJUANGAN “AREK-AREK” SURABAYA
MELAWAN SEKUTU (INGGRIS)
(Simbol Eksistensi Semangat Nasionalisme)
Oleh: Maman Nurjaya, S.Pd

Kawanku semua,
Tengoklah di medan laga,
Darah kawanmu mengali membasahi,
Bumi persada ibu pertiwi

Gunungsari, gunungsari
Tampak kenangan suci
Kita siap, kita sedia,
Membalas nenuntut bela,

(Syair lagu yang populer untuk memperingati peristiwa pertempuran di Gunungsari Surabaya dimana banyak pasukan Pelajar gugur, Nugroho Nototsusanto, 1985)

Jum’at 10 November 2006 genap 61 tahun terjadinya peristiwa heroik pertempuran “Arek-arek” Surabaya melawan Sekutu (Inggris). Peristiwa 10 November 1945 tidak saja sekedar usaha bangsa Indonesia khususnya rakyat Surabaya mempertahankan kemerdekaan yang baru saja tercapai tetapi pertempuran ini memperlihatkan sebuah contoh perjuangan yang dilandasi etos kejuangan yang tinggi, militansi dan heroisme yang menunjukkan eksistensi nasionalisme yang tidak saja perlu dikenang tetapi juga perlu direfleksikan kembali. Refleksi didasarkan pada kesadaran bahwa bangsa yang tidak mengenal sejarahnya berarti tidak mempunyai identitas. Apdahal menurut Empu Sejarah Sartono Kartodirjo, bangsa tanpa identitas adalah contradictio interminis (Antonius Darmanto, 1992). Dalam rangka mengenang dan merefleksikan peristiwa 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai hari Pahlawan itulah tulisan ini dibuat.

Kedatangan Sekutu
Ikhwal kedatangan Sekutu di Indonesia adalah dalam rangka mengemban tugas “mengurus” Indonesia setelah Jepang kalah dengan Sekutu dalam Perang Dunia II. Tugas Pokoknya antara lain melucuit Senjata Jepang, mengurus tawanan Jepang dan juga mengurus administrasi penyerahan kekuasaan dari Jepang ke Sekutu. Dalam perkembangannya tidak dapat dihindakrkan terjadi pergolakan dan pertempuran dengan Pihak Indonesia karena pihak Indonesia yang sudah menyatakan diri merdeka juga mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri termasuk melucuti senjata Jepang. Hal ini juga diperkeruh dengan pihak Belanda yang masih ingin kembali ke Indonesia dengan menggunakan nama Sekutu maka konfrontasi fisik tidak dapat dihindarkan, termasuk pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade ke49 di bawah pimpinan Brigader Jenderal A.W.S Mallaby mendarat di Surabaya. Brigade ini merupakan bagian Divisi ke 23 di bawah pimpinan Jenderan D.C. Hawthorn. Mereka mendapat tugas dari Panglima AFNEI (Panglima Tentara Sekutu Untuk Asia Tenggara) untuk melucuti serdadu Jepang dan menyelamatkan para interniran Sekutu. Pemimpin pasukan Sekutu (Inggris) menemui Gubernur Jawa Timur R.M. Soerjo (pemegang pemerintahan Indonesia di Jawa Timur). Pemerintahan Jawa Timur pada awalnya enggan untuk menerima kedatangan mereka namun akhirnya terjadilah pertemuan dengan Brigader AWS Mallaby dan berhasil mencapai kesepakatan antara lain: pertama Inggris berjanji bahwa diantara mereka tidak terdapat angkatan perang Belanda, kedua disetujuinya kerjasama kedua pihak untuk menjamin keamanan dan ketentraman, ketiga akan dibentuk kontak biro sehingga kerjasama dapat terlaksana dengan baik, dan keempat Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang saja. Akhirnya pihak Indonesia memperkenankan tentara Inggris memasuki kota dengan syarat bahwa hanya obyek-obyek yang sesuai tugasnya saja yang dapat diduduki seperti kamp-kamp tawanan perang.

Pertempuran dimulai
Dalam perkembangannya Inggris ingkar janji. Tanggal 26 Oktober 1945 malam, satu peleton pasukan Field Security Section di bawah Kapten Shaw melakukan penyerangan ke penjara Kalisosok untuk membebaskan Kolonel Huiyer (Seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda). Tindakan Inggris dilanjutkan dengan melakukan pendudukan terhadap Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio dan obyek fital lainnya. Tindakan Inggris semakin nekat dengan menyebarkan pamflet-pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya khususnya Jawa Timur pada umumnya untuk menyerahkan senjata yang dirampasnya dari Jepang. Akhirnya pertempuran tidak dapat dihindarkan setelah protes Pemerintah Surabaya tidak dihiraukan oleh Inggris. Kontak senjata pecah pertama kali tanggal 27 sampai 30 Oktober 1945. rakyat Surabaya berhasil mengasai kembali daerah-daerah yang diduduki Inggris. Situasi dapat mereda setelah Presiden Sukarno turun tangan mendamaikan kedua pihak. Namun malang bagi Jenderal AWS Mallaby, dia tewas dalam sebuah pertempuran di sekitar Gedung Internatio/ Jembatan Merah.

Abaikan Ultimatum Sekutu
Tewasnya Jenderal Inggris ini membuat Letjen Chistison sebagai Panglima Tentara Sekutu untuk kawasan Asia Tenggara geram. Didatangkannya bala bantuan antara lain Kapal Perang HMS. Sussex di bawah pimpinan Laksamana Muda Petterson, 1.500 pasukan di daratkan dari kapal Carron dan Cavalier dan menyusul 24.000 pasukan dari Divisi V Infanteri India yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Mansergh (Nugroho Notosusanto, 1985).
Tanggal 9 November 1945 Inggris mengeluarkan ultimatum “.... semua pimpinan bangsa Indonesia dari semua pihak di kota Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 pagi, pada tempat yang telah ditentukan dan membawa bendara Merah Putih dengan diletakkan di atas tanah pada jarak seratus meter dari tempat berdiri, lalu mengangkat tangan tanda menyerah. Jika tidak ditaati maka pihak Inggris akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut dan udara” (I Wayan Badrika, 2005).
Ultimatum itu tidak membuat rakyat Surabaya takut namun justru disambut dengan persiapan perang baik di bidang logistik, personil tentara, sukarelawan maupun strategi perang. Gubernur Suryo menyatakan menolak ultimatum Inggris. Pertempuran tidak terhindarkan lagi keesokan harinya tanggal 10 November 1945. sementara itu tokoh yang tak asing lagi dalam pertempuran ini adalah Bung Tomo yang selalu membakar semangat juang rakyat melalui radio. Dalam perkembangannya pihak Indonesia mulai terdesak. Hal ini memang dari segi persenjataan kalah modern di banding Sekutu. Fron terahanan terakhir Pertempuran Surabaya adalah di daerah Gunungsari dimana banyak sekali pasukan Pelajar yang gugur menjadi bunga bangsa. Dengan jatuhnya Gunungsari pada tanggal 28 November 1945 praktis seluruh kota Surabaya telah jatuh ke tangan musuh (Nugroho Notosusanto, 1985).

Eksistensi Nasionalisme
Pertempuran Surabaya berakhir tanggal 28 November 1945, dua hari lebih lama dari yang diperkirakan Inggris yaitu tanggal 26 November 1945. Hal ini disebabkan perlawanan dari rakyat Surabaya benar-benar diluar dugaan. Mereka bertempur habis-habisan, heroik dan militan. Pada awalnya Inggris menganggap pasukan Indonesia sebagai suatu tentara yang tidak lebih dari tentara gerilya kelas tiga, “no higher than a third grade partisan Army”, tetapi setelah bertempur lebih dari seminggu pihak Inggir mengakui bahwa belum terlihat adanya tanda-tanda melemahnya perlawanan dan bahkan pasukan Inggris mengahdapi perlawanan yang lebih teratur. (Nugroho Notosusanto, 1985).
Militansi rakyat Surabaya dalam melawan Inggris benar-benar mencerminkan semangat nasionalisme. Semangat cinta tanah air rela mengorbankan apa saja yang dimilikinya termasuk nyawa demi menjaga hak dan kehormatan bangsa ditunjukkan dan pertempuran Surabaya ini. Tepatlah apa yang dikatakan Hans Kohn bahwa nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan (Hans Kohn, 1964:11). Hal ini semakin relevan apa yang dikatakan Ernest Renan bahwa nasionalisme dipahami sebagai keinginan bersama sekelompok orang untuk bersatu serta mempertahankan persatuan itu dengan jalan apapun (Soekarno, 1963:3-4)

Implikasinya
Dalam rangka membangun kesadaran sejarah perjuangan rakyat Surabaya jangan hanya dipandang dari sisi menang atau kalah, namun meresapi akan nilai-nilai kejuangan, militansi dan heroisme yang merupakan semangat nasionalisme itulah yang harus selalu tertanam pada setiap generasi ke generasi. Lebih jauh lagi pada masa kini nilai-nilai nasionalisme sebagai mana termaktub dalam Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia sepeti Unity (Kesatuan), liberty (kebebasan), personality (kepribadian), performance (prestasi kerja) dikonsolidasikan dalam parameter pembangunan (Sartono Kartodirjo, 1992/ Antonius Darmanto, 1995). Bagi para pelajar mengaplikasikan nilai-nilai nasionalisme dapat dilakukan dengan tetap semangat dan konsisten dalam menjalankan kewajibannya yaitu belajar, serta menjauhkan diri dari hal-hal yang negatif. Hal ini karena pelajar sebagai generasi muda memikul beban berat yaitu meneruskan tongkat estafet perjalanan bangsa ini.
*(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Exsis Edisi Januari 2007)

Tidak ada komentar: